Minggu, 24 April 2011

doa untuk ibu dan bapak ku

Ya Allah
Rendahkanlah suaraku bagi mereka
Perindahlah ucapanku di depan mereka
Lunakkanlah watakku terhadap mereka dan
Lembutkan hatiku untuk mereka

Ya Allah,
Berilah mereka balasan yang sebaik-baiknya, atas
didikan mereka padaku dan Pahala yang besar atas
kesayangan yang mereka limpahkan padaku,peliharalah
mereka sebagaimana mereka memeliharaku.

Ya Allah,
Apa saja gangguan yang telah mereka rasakan
atau kesusahan yang mereka deritakan kerana aku
atau hilangnya sesuatu hak mereka kerana perbuatanku
jadikanlah itu semua penyebab susutnya
dosa-dosa mereka dan bertambahnya pahala kebaikan
mereka dengan perkenan-Mu ya Allah
hanya Engkaulah yang berhak membalas kejahatan dengan
kebaikan berlipat ganda.

Ya Allah,
Bila magfirah-Mu telah mencapai mereka sebelumku,
Izinkanlah mereka memberi syafa'at untukku.
Tetapi jika sebaliknya, maka izinkanlah aku memberi
syafa'at untuk mereka,sehingga kami semua berkumpul
bersama dengan santunan-Mu di tempat kediaman
yang dinaungi kemulian-Mu, ampunan-Mu serta rahmat-Mu... .

Sesungguhnya Engkaulah yang memiliki Kurnia Maha
Agung, serta anugerah yang tak berakhir dan Engkaulah
yang Maha Pengasih diantara semua pengasih.

Amin Ya Rabbul Alamin..


Marilah kita kenangkan dosa kita kepada orang tua kita. Siapa tahu
hidup
kita dirundung nestapa kerana kedurhakaan kita. Kerana kita
menghisap
darahnya, tenaganya, airmatanya,
keringatnya. Istighfarlah, Istighfarlah. ..
Barangsiapa yang matanya pernah sinis melihat orang tuanya. Atau
kata-katanya sering mengguris hatinya, atau yang jarang
memperdulikan
dan
mendoakannya. Percayalah bahawa anak yang derhaka siksanya
didahulukan
didunia ini.
Ayah... Ibu ampunkanlah dosa-dosa anakmu...

Sabtu, 23 April 2011

loloda punu mokoagow

 Sejarah Datu’ Binangkang
Punu’ Tadohe, putra Punu’ Mokodompit VI dari istrinya yang seorang wanita biasa bernama Gugundo mendapat sindiran-sindiran dari para Bogani bawahan Punu Mokodompit sehingga ibunya Gugundo dalam keadaan hamil hijrah ke Pulau Sangir Talaud.

Bayinya lahir ditangani Tabud. Bayinya diberi nama Tadohe dan kemudian mendapat pendidikan dan keahlian di sana di bawah asuhan ibundanya sampai dewasa, dengan izin ibu disertai putra punu mau menduduki jabatan ayahnya.

Dengan melalui banyak rintangan antara lain perahu layarnya yang karam di tengah lautan. Konon bantuan Tendeduata nenek asalnya, akhirnya ia terdampar di Desa Tonggid di pantai selatan-Timur dan melewati hutan belukar dengan dua orang pengawalnya yang akhirnya tiba di daerah kekuasaan ayahnya, Punu Mokodompit (± tahun 1555).

Waktu ayahnya meninggal tahun 1600, maka Tadohe satu-satunya yang berpendidikan. Ia dipilih oleh bogani-bogani (pimpinan) menjabat Punu ke VII. Adapun barang-barang peninggalan Tadohe antara lain yang disimpan di Lipulin Yoko (Museum Peninggalan Raja) tetapi terbakar waktu Permesta tanggal 20 Mei 1959.

Antara masa jabatan Punu Mokodompit sampai terangkatnya Punu Tadohe, ada seorang Bogani Wanita yang kuat dan terkenal kemampuannya ialah Inde’ Do’oe (inde = ibu) atau Ba’ai Do’oe (ba’ai = nenek) panggilan daerah Totabuan. Di Gorontalo dikenal Bua’ Do’oe, di Minahasa disebut nenek Do’oep.

Konon, Ba’ai Do’oe pewaris kekuasaan dari Damopolii ini (Rampolii = Minahasa) menguasai wilayah sampai bagian selatan Minahasa : sekitar Kotabunan, Ratahan, Pontak, Buyak sampai ke batas Danau Mo’o’at dengan tujuh anaknya berdiam di puncak gunung Dayou (Kec. Kotabunan).

Punu Tadohe merupakan anak angkat dari Ba’ai Do’oe ini. Punu Tadohe juga memiliki keturunan yang bernama Loloda’ Mokoagow yang diberi gelar Datu’ Binangkang. Loloda’ Mokoagow diganti jabatannya oleh anaknya Datu. C. Manoppo di bawah pengawalan 24 orang tentara Compagnie dan 7 orang penguasa Belanda dari Minahasa ke Kota Bolaang dan dilantik bersamaan penanda tanganan kontrak pertama dengan V.O.C 20 Mei 1695.

Kehadiran kekuasaan Datu’ C. Manoppo di bawah lindungan iringan bendera Compagnie Belanda ini yang mendapat tambahan nama Kristen Khatolik “Jacobus”, diterima oleh ayahandanya dengan cemas, marah dan angat berang karena “dikecewakan = binangkang” (kemudian digelari Raja Binangkang) sambil bersumpah : “karena Makaloensenge, puteranya dari Bua’ (bangsawan) tidak menggantikannya.” Loloda’ Mokoagow merupakan salah satu raja yang berjiwa anti kolonial.

Kehadiran Raja Loloda’ Mokoagow dengan panggilan Datu’ Binangkang yang sebelumnya telah memeluk agama Islam hasil didikan guru mengaji dan ilmu Al-Qur’an keluaran Batu Da’a Suwawa Gorontalo sekitar 1580 itu telah mengeluarkan ketetapan : “Agama raja, agama rakyat”, maksudnya adalah agama rakyat adalah agama yang dipeluk oleh Raja.

Dihadirkannya oleh VOC Manoppo pertama dengan baptisannya Jacobus sebelum dilantik sebagai Raja I beragama Khatolik, ternyata tidak dapat mempengaruhi rakyat lagi kecuali menimbulkan antipati terhadap Belanda yang membawanya secara PAKSA, akhirnya kepercayaan itu hanya di lingkungan istana. Bahwa lambatnya zendeling masuk ke wilayah kerajaan di Bolaang Mongondow bukanlah persoalan agama tapi yang tidak mau diterima oleh rakyat adalah orang-orang asing Belanda, Portugis, dan Inggris sebagai PENJAJAH.

Sejak itu, embrio tambah subur menuju kebangkitan Nasional dan bukan tidak setuju terhadap agama yang dianutnya. Hal termasuk unsure perbedaan anutan falsafah negara asalnya, dimana jiwa Indonesia sebagai Falsafah Negara kita telah tumbuh dan berakar dalam tingkah laku dan hati rakyat Indonesia sampai sekarang ini. Dengan taktik berkesan tidak baik d hati rakyat itu, dengan datangnya para ulama baik dari Gorontalo, Bugis Makassar dan dari Filipina Selatan sangat berkemang pesat, sehingga kehadiran Controleur bersama misi zending-nya di bawah pimpinan Ds. Dunnerbier tetap menghadapi banyak kesulitan.

Kini, makam Datu’ Binangkang masih dapat disaksikan di Rigi perbatasan antara Poyowa dan Matali. Letaknya sekitar 1 Km dari jalan di perbatasan Matali dan Motoboi Besar. Menuju ke tempat itu harus berjalan kaki. Makam yang panjangnya 7 meter itu tak terawat dan tak mendapat perhatian pemerintah daerah. Padahal sebagai asset budaya, makam tersebut harusnya dilestarikan dan dipugar sehingga dapat memperkaya pengetahuan generasi muda Totabuan terhadap leluhurnya. Di antara sekian bupati atau tokoh bolmong, menurut masyarakat setempat hanya bupati UN Mokoagow yang dulu pernah datang ke tempat itu.

Seorang penulis buletin sebuah yayasan pun bertutur : “ Sungguh tragis makam leluhur Bolmong ini seperti dilupakan. Datu Binangkang yang dulunya sempat ditipu (binangkangan) oleh anaknya sendiri demi jabatan seorang raja, kini tinggal makamnya juga seperti (binangkangan intau) tidak diperhatikan, dan kini bahkan namanya yang diabadikan sebagai nama Rumah Sakit di Kotamobagu konon/sudah akan diganti lagi. Datu Binangkang benar-benar Raja binangkangan sejak masih hidup, kuburan, hingga namanya ”. 


Sejarah Datu’ Pinonigad
Nama Mongondow-nya adalah Abraham Sugeha (nama aslinya Andi Panungkelan). Beliau adalah seorang mubalig Islam berpendidikan dan berpengetahuan yang diperolehnya di daerah Bugis asal kelahiran ayahandanya Andi Lattae (Latahe) bangsawan Bugis Wajo.

Andi Lattae berlayar dalam misi dagangnya sehingga berlabuh di Bolaang, Ibu Kota Kerajaan Mongondow. Andi Lattae memiliki enam putera-puteri dan putera ketiganya bernama Andi Panungkelan. Meskipun bukan putra asli Totabuan, tetapi karena kepandaian dan keterampilan Andi Panungkelan maka ia dapat merebut hati rakyat dan terpilih menjadi Raja ke XXI dengan memakai nama Abraham Sugeha (1880-1893), dengan sebutan Datu’ Pinonigad (Tussen Koning). Beliau bersama rakyatnya sangat berang dan anti terhadap compagnie Belanda.

Sama seperti makam Datu’ Binangkang, makam Datu Pinonigad yang terletak di Gere Kelurahan Matali ini pun terkesan tidak terawat dengan baik. Kuburan Raja-raja Bolmong yang lain juga di tempat ini Raja HDC Manoppo dan keluarga, Abo’ Dangoe Manoppo, Raja Cornelis Manoppo, dan lain-lain tidak jelas karena nisannya rusak termakan waktu.




Sumber :
Napak Tilas Mengikuti Jiwa dan Jejak Merah Putih Kawasan Utara Propinsi Celebes (A.T.Mokobombang, 1995), Buletin Suara Totabuan (Yayasan Totabuan, 2007)